Metode
Pembelajaran PAUD Dalam Perspektif Islam
Metode
Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Perspektif Islam. --Metode Pembelajaran PAUD
Dalam Perspektif Islam-- Untuk merealisasikan pelaksanaan kegiatan pendidikan
pada anak usia dini serta guna mencapai hasil yang menggembirakan, para
pendidik hendaklah senantiasa mencari berbagai metode yang efektif, serta
mencari kaidah-kaidah pendidikan yang berpengaruh dalam mempersiapkan dan
membantu pertumbuhan anak usia dini, baik secara mental dan moral, spiritual
dan etos sosial, sehingga anak dapat mencapai kematangan yang sempurna guna menghadapi
kehidupan dan pertumbuhan selanjutnya.
Metode Pembelajaran PAUD Dalam Perspektif Islam
Dengan
bersumberkan kepada Al Qur-an dan hadis, ada beberapa metode pendidikan Islam
yang dapat dan layak diterapkan pada kegiatan pendidikan terhadap anak usia dini.
Metode dimaksud adalah:
1. Metode dengan Keteladanan
Keteladanan
dalam pendidikan Islam, merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti berhasil
dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak
sejak usia dini. Hal ini karena pendidik adalah figure terbaik dalam pandangan
anak didik yang tindak tanduknya dan sopan santunnya, disadari atau tidak akan
menjadi perhatian anak-anak sekaligus ditirunya. Keteladanan menjadi faktor
penting dalam menentukan baik buruknya pertumbuhan dan perkembangan anak usia
dini. Jika pendidik dan orang tua jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia,
berani, dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
agama, maka si anak akan tumbuh dalam kejujuran, terbentuk dengan akhlak mulia,
berani dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
agama.
Anak
usia dini, bagaimanapun besarnya usaha yang dipersiapkan untuk kebaikannya,
bagaimanapun sucinya fitrah, tidak akan mampu memenuhi prinsip-prinsip kebaikan
dan pokok-pokok pendidikan utama, selama ia (anak usia dini) tidak melihat
pendidik dan orang tua sebagai teladan dari nilai-nilai moral yang tinggi. Kiranya
sangat mudah bagi pendidik untuk mengajari anak dengan berbagai materi
pendidikan, tetapi teramat sulit bagi anak untuk melaksanakannya jika ia
melihat orang yang memberikan pengajaran tidak mengamalkan-nya.
Allah
swt, juga telah mengajarkan bahwa rasul yang diutus untuk menyampaikan risalah
samawi kepada umat manusia, adalah seorang yang mempunyai sifat-sifat luhur,
baik spiritual, moral maupun intelektual. Sehingga umat manusia meneladaninya,
belajar darinya, memenuhi panggilannya, menggunakan metodenya dalam hal
kemuliaan, keutamaan dan akhlak yang terpuji. Allah mengutus Muhammad Saw.
Sebagai teladan yang baik bagi umat Islam sepanjang jaman, dan bagi umat
manusia di setiap saat dan tempat, sebagai pelita yang menerangi dan purnama
yang memberi petunjuk. Allah berfirman dalam surah Al Ahzab ayat 21:
Artinya:
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah."
Ayat
tersebut ditafsirkan oleh Baidhawi, bahwa uswatun hasanah yang dimaksud adalah perbuatan
baik yang dapat dicontoh[30].Dalam ringkasan tafsir Ibnu Kasir disebutkan bahwa
ayat ini merupakan prinsip utama dalam meneladani Rasulullah SAW, baik dalam
ucapan, perbuatan maupun sikap dan perilakunya.[31]
Islam
telah menyajikan pribadi Rasul sebagai suri teladan yang terus-menerus bagi
seluruh pendidik, suri teladan yang selalu baru bagi generasi demi generasi,
dan selalu aktual dalam kehidupan manusia, setiap kali kita membaca riwayat
kehidupannya bertambah pula kecintaan kita kepadanya dan tergugah pula
keinginan untuk meneladaninya. Islam tidak menyajikan keteladanan ini sekedar
untuk dikagumi atau sekedar untuk direnungkan dalam lautan hayal yang serba
abstrak. Islam menyajikan riwayat keteladanan itu semata-mata untuk diterapkan
dalam diri setiap individu muslim baik itu anak-anak maupun orang dewasa.
Dalam
memberikan pendidikan kepada anak usia dini, pendidikan dengan memberi teladan
secara baik dari para pendidik dan orang tua, teman bermain, pengajar, atau
kakak, akan merupakan faktor yang sangat memberikan bekas dalam membina
pertumbuhan anak, memberi petunjuk, dan persiapannya untuk menjadi melanjutkan
kehidupannya di fase-fase perkembangan selanjutnya.
Dengan
demikian perlu dipahami oleh para pendidik dan orang tua bahwa mendidik dengan
cara memberi teladan yang baik, terutama pada masa anak usia dini sesungguhnya
penopang utama dan dasar dalam meningkatkan anak usia dini pada keutamaan,
kemuliaan dan etika sosial yang terpuji.[32] Manusia telah diberi fitrah untuk
mencari suri teladan agar menjadi pedoman bagi mereka, yang menerangi jalan
kebenaran dan menjadi contoh hidup yang menjelaskan kepada mereka bagaimana
seharusnya melaksanakan syrai'at Allah.
Karenanya,
untuk merealisasikan risalahNya di muka bumi, Allah mengutus para rasulNya yang
menjelaskan kepada manusia syari'at yang diturunkan Allah kepada mereka. Anak
usia dini merupakan tingkat usia yang dalam pertumbuhannya memiliki keterkaitan
besar terhadap keteladanan dari pihak luar dirinya. Di dalam kehidupan
berkeluarga misalnya, anak usia dini membutuhkan suri teladan, khususnya dari
kedua orang tuanya, agar sejak dini (masa kanak-kanak) ia menyerap dasar tabiat
perilaku Islami dan berpijak pada landasannya yang luhur.
Keteladanan
yang baik memberikan pengaruh besar terhadap jiwa anak, sebab anak banyak meniru
kedua orang tuanya. Anak-anak akan selalu memperhatikan dan mengawasi perilaku
orang tuanya atau orang dewasa lainnya, dan mereka akan mencontohnya, jika anak
mendapati orang tuanya berlaku jujur, mereka akan tumbuh dengan kejujuran. Kedua
orang tua dituntut mengimplementasikan perintah-perintah Allah dan sunnah Rasul
sebagai perilaku dan amalan serta terus menambah amalan-amalan sunnah tersebut
semampunya, karena anak-anak akan terus mengawasi dan meniru mereka setiap
waktu. Kemampuan anak dalam menerima teladan dari orang dewasa secara sadar
atau tidak sadar sangatlah tinggi, meskipun anak-anak sering dianggap sebagai
makhluk kecil yang belum mengerti dan paham ajaran Islam, tetapi dengan melihat
teladan yang diberi orang dewasa hal itu akan memberi bekasan pada diri
anak.[33]
Di
sekolah, anak-anak juga membutuhkan suri teladan yang dilihatnya langsung dari
setiap guru yang mendidiknya, sehingga dia merasa pasti dengan apa yang
dipelajarinya. Pada perilaku dan tindakan guru-gurunya, hendaknya anak dapat
melihat langsung bahwa tingkah laku utama yang diharapkan mereka melakukannya
adalah hal yang tidak mustahil dan memang dalam batas kewajaran untuk
direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.[34]
2. Pendidikan dengan Latihan
dan Pengamalan
Islam
merupakan agama yang menuntut para pemeluknya mampu merealisasikan berbagai
ajaran Islam dalam bentuk amal nyata yaitu berupa amal şaleh yang diridhai
Allah SWT. Islam menuntut umatnya agar
mengarahkan segala tingkah laku, naluri, aktivitas dan hidupnya untuk merealisasikan
adab-adab dan perundang-undangan yang berasal dari Allah secara nyata. Dalam
hal pendidikan melalui latihan pengamalan, Rasulullah SAW, sebagai pendidik
Islam yang pertama dan utama sesungguhnya telah menerapkan metode ini dan
ternyata memberikan hasil yang menggembirakan bagi perkembangan Islam di
kalangan sahabat. Dalam banyak hal, Rasul senantiasa mengajarkannya dengan
disertai latihan pengamalannya, di antaranya; tatacara bersuci, berwudhu,
melaksanakan şalat, berhaji dan berpuasa.
Atas
dasar ini, maka dalam pelaksanaan pendidikan Islam baik kepada orang dewasa,
apalagi terhadap anak-anak usia dini pendidikan melalui latihan dan pengamalan
merupakan satu metode yang dianggap penting untuk diterapkan. Metode belajar
learning by doing atau dengan jalan mengaplikasikan teori dan praktik, akan
lebih memberi kesan dalam jiwa, mengokohkan ilmu di dalam kalbu dan menguatkan
dalam ingatan.
Di
antara yang dapat dilatihkan sebagai amalan bagi anak-anak usia dini antaranya
ialah; cara menggosok gigi, latihan mencuci tangan yang benar, cara beristinja,
latihan berwudhu', mengucapkan salam ketika masuk rumah, serta beberapa do'a
yang harus diamalkan sebagai mengawali berbagai aktivitas sehari-hari, seperti
do'a hendak dan sesudah makan, do'a hendak dan bangun tidur, do'a masuk kamar
mandi, dan do'a lain yang mudah diamalkan oleh anak-anak usia dini. Orang tua
wajib membiasakan atau melatih anak-anak mereka pergi ke masjid, juga
melaksanakan şalat di rumah maupun di sekolah. Hal ini dapat dibaca pada hadis berikut
ini:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَأَبُو كَامِلٍ الْجَحْدَرِيُّ وَاللَّفْظُ لِقُتَيْبَةَ
قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي يَعْفُورٍ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ
سَعْدٍ قَالَ صَلَّيْتُ إِلَى جَنْبِ أَبِي قَالَ وَجَعَلْتُ يَدَيَّ بَيْنَ رُكْبَتَيَّ
فَقَالَ لِي أَبِي اضْرِبْ بِكَفَّيْكَ عَلَى رُكْبَتَيْكَ قَالَ ثُمَّ فَعَلْتُ
ذَلِكَ مَرَّةً أُخْرَى فَضَرَبَ يَدَيَّ وَقَالَ إِنَّا نُهِينَا عَنْ هَذَا
وَأُمِرْنَا أَنْ نَضْرِبَ بِالْأَكُفِّ عَلَى الرُّكَبِ
Artinya: Hadis Saad bin Abi Waqqas r.a: Diriwayatkan daripada
Mus'ab bin Saad r.a katanya: Aku pernah sembahyang di sisi ayahku. Aku rapatkan
tangan antara kedua lututku. Lalu ayahku berkata kepadaku: Letakkan kedua
telapak tanganmu pada lututmu. Kemudian aku melakukan hal itu sekali lagi. Lalu
ayah memukul tanganku sambil mengatakan: Sesungguhnya kita dilarang dari
melakukan ini yaitu meletakkan tangan di antara dua lutut dan kita
diperintahkan supaya meletakkan tangan di atas lutut. (HR. Muslim)[35]
Metode Pembelajaran PAUD Dalam Perspektif Islam
Nilai
pendidikan yang terdapat dalam hadis di atas adalah tentang praktik melatih
anak dalam melaksanakan şalat. Praktik pendidikan şalat seperti inilah yang
seyogiyanya diterapkan oleh para orang tua dalam memberi pendidikan sholat
kepada anak-anaknya, sehingga anak tidak hanya memiliki pengetahuan teoritis
tentang şalat, tetapi juga memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sifatnya
praktis tentang şalat, dan dengan demikian maka anak akan mampu melaksanakan
şalat dengan benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Dalam hadis lain ditemukan juga bagaimana Rasulullah memberi
pendidikan şalat kepada anak-anak, seperti sabda beliau yang diriwayatkan dari
Anas:
حَدَّثَنَا
أَبُو حَاتِمٍ مُسْلِمُ بْنُ حَاتِمٍ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ
سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ لِي رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا بُنَيَّ إِيَّاكَ وَالِالْتِفَاتَ
فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّ الِالْتِفَاتَ فِي الصَّلَاةِ هَلَكَةٌ فَإِنْ كَانَ لَا
بُدَّ فَفِي التَّطَوُّعِ لَا فِي الْفَرِيضَةِ
Artinya:
Berkata Anas bin Malik telah berkata Rasulullah SAW; “Hai anakku, janganlah
engkau menoleh ke sana ke mari dalam şalat, karena akan merusak şalat, jika
engkau terpaksa melakukan hal itu, maka boleh dilakukan hanya dalam şalat
sunnah, dan bukan dalam şalat fardhu”.(HR. at-Tirmiżi)[36]
Hadis
ini dikeluarkan oleh Rasulullah dalam rangka memberi peringatan kepada
anak-anak agar tidak menoleh ke kanan dan ke kiri ketika sedang melaksanakan
şalat, dan ini sesungguhnya merupakan bukti perhatian Rasul dalam mengajarkan
kepada anak-anak tentang tatacara şalat.[37] Para sahabat juga menempuh cara
yang sama dalam memberi pendidikan şalat kepada anak-anaknya dengan cara
memberi contoh kepada anak-anaknya tentang berbagai tata cara şalat sesuai
dengan yang diajarkan Rasul Saw. Cara ini juga pantas jika dipraktikkan oleh
para orang tua Muslim dalam memberi pendidikan şalat kepada anak-anaknya,
terutama tentang ketertiban dalam şalat (larangan menoleh ke kanan atau ke kiri
pada waktu şalat).
Orang
tua juga berkewajiban melatih mereka melaksanakan puasa dan infaq, bersedekah
serta berbuat baik kepada tetangga dan orang-orang fakir, juga menolong
orang-orang yang lemah. Disamping itu juga harus dilatih menghormati orang yang
lebih tua dan telah berumur, dilatih/dibiasakan melakukan berbagai kegiatan
dengan niat kerena keridhaan Allah semata, mencintai karena Allah dan membenci
karena Allah. Mengorbankan harta serta diri mereka di jalan Allah,
melaksana-kan kewajiban agama, menegakkan moral Islam, khususnya mengenakan
jilbab bagi anak perempuan.[38]
3. Mendidik melalui
permainan, nyanyian, dan cerita
Sesuai
dengan pertumbuhannya, anak usia dini memang lagi gemar-gemarnya melakukan
berbagai permainan yang menarik bagi dirinya. Berkaitan dengan ini, maka
pendidikan melalui permainan merupakan satu metode yang menarik diterapkan
dalam pendidikan anak usia dini.
Tentu saja
permainan yang positif dan dapat mengembangkan intelektual dan kreativitas
anak-anak. Bagi anak-anak usia balita, bermain dengan ibu tentu lebih banyak
dampak positifnya karena lebih memperlancar komunikasi antara keduanya, adalah
teman terbaik bagi mereka.[39]
Hal ini dapat dibaca pada hadis Rasul yang menjelaskan tentang cara
memberi pendidikan puasa kepada anak-anak berikut ini:
و
حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ نَافِعٍ الْعَبْدِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ
الْمُفَضَّلِ بْنِ لَاحِقٍ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ ذَكْوَانَ عَنْ الرُّبَيِّعِ
بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَتْ أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ الَّتِي حَوْلَ
الْمَدِينَةِ مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ وَمَنْ كَانَ
أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ فَكُنَّا بَعْدَ ذَلِكَ
نَصُومُهُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَنَجْعَلُ لَهُمْ اللُّعْبَةَ مِنْ الْعِهْنِ
فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ الْإِفْطَارِ
Diriwayatkan
daripada Ar-Rubaiyyi' binti Muawwiz bin Afra' r.a katanya: Pada hari Asyura,
Rasulullah s.a.w telah mengirimkan surat ke perkampungan-perkampungan Ansar di
sekitar Madinah yang berbunyi: Siapa yang berpuasa pada pagi ini hendaklah
menyempurnakan puasanya dan siapa yang telah berbuka yaitu makan pada pagi ini
hendaklah dia juga menyempurnakannya yaitu berpuasa pada pagi harinya. Selepas
itu kami pun berpuasa serta menyuruh anak-anak kami yang masih kanak-kanak
supaya ikut berpuasa, jika diizinkan Allah. Ketika kami berangkat menuju ke
masjid, kami buatkan suatu permainan untuk anak-anak kami yang diperbuat dari
bulu biri-biri. Jika ada di antara mereka yang menangis meminta makanan, kami
akan berikan mainan tersebut sehingga tiba waktu berbuka. (HR.Muslim)[40]
Dengan
membaca hadis di atas, dapat diketahui bahwa pendidikan puasa kepada anak dapat
dilakukan dengan cara melatih mereka berpuasa dan jika mereka menangis meminta
makanan dapat dialihkan keinginan mereka dengan cara memberi mainan kepada
mereka, sehingga anak-anak lupa akan rasa laparnya dan asik dengan
permainannya, selain itu anak juga merasa terhibur oleh permainan dan tidak
merasakan panjangnya hari yang mereka lalui dengan puasa. Ibnu Hajar seperti
dikutip Suwaid, menjelaskan bahwa hadis ini menjadi dalil mengenai
disyariatkannya melatih anak-anak untuk berpuasa, sebab usia yang disebutkan
dalam hadis tersebut belum sampai pada masa mukallaf, akan tetapi hal itu
dilakukan sebagai bentuk latihan.[41]
Namun
perlu diingat pula bahwa yang paling perlu orang tua usahakan pertama kali
sebelum mengenalkan dan melatih bepuasa adalah mengkondisikan anak dengan
lingkungan yang Islami. Kenalkan suasana puasa di lingkungan keluarga, karena
suasana itu bagi anak merupakan bekal dalam mempersiapkan dirinya, sehingga
anak terbiasa dengan suasana berpuasa. Anak tidak melihat ibu, bapak, dan
anggota keluarganya makan di siang hari, tetapi makan ketika terbenam matahari.
Perlu juga diingat adalah jangan sekali-sekali memaksa mereka melakukan puasa secara
terus menerus sejak dari terbit fajar hingga terbenam matahari, namun latih
mereka untuk melakukan puasa secara bertahap, mulai dari hitungan jam sampai
akhirnya mereka dapat terus berpuasa dari terbit fajar hingga berbuka pada
magribnya. Setelah anak mampu berpuasa selama satu hari penuh, kenalkan mereka
dengan hal-hal yang membatalkan puasa.[42]
Muhammad
Suwaid menjelaskan bahwa hadis yang menceritakan bahwa Nabi merestui A’isyah
yang sedang bermain dengan boneka, menunjukkan kepada kita bahwa anak kecil
memang butuh mainan. Demikian juga hadis tentang burung nughar kecilnya Abu
Umair yang dibuat mainan olehnya dan hal itu juga disaksikan oleh Nabi menjadi
bukti lain akan adanya kebutuhan mainan bagi anak agar ia bisa riang gembira. Dalam
hal ini kedua orang tuanyalah yang mesti memberikan mainan untuk anaknya yang
sesuai dengan usia dan kemampuannya, dan kemudian menyerahkannya secara
lansgung, hal itu dimaksudkan agar akal dan panca inderanya beraktivitas dan
bisa tumbuh sedikit demi sedikit.
Agar
mainan yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anak mereka benar-benar bisa
bermanfaat, maka kedua orang tua perlu mempertimbangkan; apakah mainan itu
termasuk mainan yang akan membangkitkan aktivitas jasmani dan kesehatan yang
berguna bagi anak. Apakah mainan tersebut membeikan kesempatan bagi anak untuk
menyusunnya, dan apakah mainan tesebut bisa mendorong anak untuk meniru
perilaku orang-orang dewasa dan cara berpikir mereka. Jika jawaban atas semua
pertanyaan tersebut adalah “ya”, maka mainan tersebut berarti sesuai untuknya
dan memberikan manfaat edukatif.[43] Selain memberi permainan kepada anak,
bermain dengan anak dan bertingkah seperti mereka dalam bergaul dengan mereka
akan menumbuhkan semangat di dalam jiwanya dan juga akan membantunya menampilkan
serta mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya.[44] Dalam al-Ishabah
dikatakan bahwa Rasulullah saw pernah bermain-main dengan Hasan dan Husin ra.
Rasulullah saw. Merangkak di atas kedua tangan dan lututnya, dan kedua cucunya
tersebut bergelantungan dari kedua sisinya, dan merangkak bersama keduanya.[45]
Bernyanyi juga satu cara yang baik diterapkan dalam pembelajaran pada anak usia
dini. Bernyanyi di sini bukan hanya mengajari anak menyanyikan berbagai lagu,
tetapi dapat dilakukan untuk mengajarkan anak membaca huruf hijaiyah dengan
cara membacanya secara berirama sehingga anak merasa senang dan rilek dalam
mengikuti pembelajaran yang diberikan oleh guru-gurunya. Selain itu, belajar
sambil bernyanyi juga akan memberi keceriaan dan kebahagiaan kepada anak dalam
belajar. Keceriaan dan kebahagiaan memainkan peran penting dalam jiwa anak
secara menakjubkan, serta memberikan pengaruh kuat.
Anak-anak
usia dini tentu saja ingin selalu riang gembira, selanjutnya keceriaan dan
kegembiraan anak itu akan melahirkan rasa optimisme dan percaya diri serta akan
selalu siap untuk menerima perintah, peringatan atau petunjuk dari orang tua
atau orang dewasa lainnya. Adalah Rasulullah senantiasa menanamkan jiwa periang
dan kegembiraan di dalam jiwa anak dan hal itu beliau lakukan dengan bebagai
macam cara. Di antaranya adalah dengan menyambut mereka dengan sambutan yang
hangat ketika bertemu dengan mereka, mengajak mereka bercanda, menggendong
mereka dan meletakkan mereka di pangkuan beliau, mendahulukan mereka dengan memberi
makanan yang baik, dan dengan cara makan bersama-sama dengan mereka.[46] Juga
tidak kalah pentingnya adalah pembelajaran dengan cara memberikan atau
menyajikan kisah-kisah Islami yang bersumber dari Al Qur-an dan Hadis Rasul.
Dalam pendidikan Islam, kisah mempunyai fungsi edukatif yang tidak dapat
diganti dengan bentuk penyampaian lain. Hal ini karena kisah Qur-an dan nabawi
memiliki beberapa keistimewaan yang membuatnya mempunyai dampak psikologis dan
edukatif yang sempurna, rapi, dan
jangkauan yang luas.
Di
samping itu kisah eduktif dapat melahirkan kehangatan perasaan dan vitalitas
serta aktvitas di dalam jiwa, yang selanjutnya memotivasi anak didik untuk
mengubah perilakunya dan memperbarui tekadnya sesuai dengan tuntunan,
pengarahan dan ide-ide yang terkandung dalam kisah tersebut.[47] Kisah Qur-ani
bukanlah karya seni yang tanpa tujuan, melainkan merupakan satu di antara
sekian banyak metode Qur-ani untuk menuntun dan mewujudkan tujuan keagamaan dan
ketuhanan serta satu cara untuk menyampaikan ajaran Islam terutama bagi
anak-anak usia dini.
Tentu
saja kemasan kisah qur-an yang dapat diterapkan dalam memberikan pendidikan
kepada anak usia dini, merupakan kisah yang dikemas secara indah dan menarik
bagi anak-anak usia dini. Misal kisah-kisah yang dapat diberikan kepada anak
usia dini antara lain adalah kisah para Nabi dan Rasul-Rasul Allah, kisah anak
durhaka, kisah-kisah anak soleh dan kisah-kisah orang pemberani dalam
kebenaran, serta kisah-kisah lain mengandung nilai pendidikan dan mendukung bagi
pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak usia dini.
Artinya "Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan
kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam
surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi
orang-orang yang beriman". (Huud: 120)
Dijelaskan oleh
Ibnu Kasir bahwa dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa semua kisah para rasul
terdahulu bersama umatnya masing-masing sebelum Muhammad, Kami ceritakan
kepadamu perihal mereka. Semua itu diceritakan untuk meneguhkan hatimu, hai
Muhammad, dan agar engkau mempunyai suri teladan dari kalangan
saudara-saudaramu para rasul yang terdahulu.[48] Artinya "Maka
ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir".(Al
A'raaf: 176)
Ayat
176 ini diturunkan menceritakan kisah Bal’aam, untuk mengingatkan manusia bahwa
meskipun seorang itu sudah mencapai ilmu yang sangat tinggi sebagaimana yang
dicapai oleh para Nabi tetapi lalu ia maksiat dan condong kepada dunia, maka
akhirnya bernasib sebagaimana Bal’aam yang disebut oleh Allah: Famasaluhu
kamasalail kalbi in tahmil alaihi yalhas au tatrukhu yalhas. Orang itu
contohnya bagaikan anjing yang selalu menjilat-jilat dan tidak berguna baginya
segala peringatan, ancaman dan nasihat, tidak berguna baginya iman dan
pengetahuannya. Karena itulah ayat ditutup dengan kalimat “Maka ceritakanlah
(kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir" Ikutilah kisah ini
supaya mereka berpikir dan memperhatikan, dan dapat mawas diri dan berhati-hati
jangan sampai terjadi seperti itu[49].
Kisah
bisa memainkan peran penting dalam menarik perhatian, kesadaran pikiran dan
akal anak. Nabi biasa membawakan kisah di hadapan sahabat, yang muda maupun
yang tua, mereka mendengarkan dengan penuh perhatian terhadap apa yang
dikisahkan beliau, berupa berbagai peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu,
agar bisa diambil pelajarannya oleh orang-orang sekarang dan yang akan datang
hingga hari kiamat.Yang penting dicatat adalah bahwa kisah-kisah yang
disampaikan oleh Nabi bersandar pada fakta riil yang pernah terjadi di masa
lalu, jauh dari khurafat dan mitos. Kisah-kisah tersebut bisa membangkitkan
keyakinan sejarah pada diri anak, di samping juga menambahkan spirit pada anak
untuk bangkit serta membangkitkan rasa keislaman yang bergelora dan mendalam.
Kisah-kisah
para ulama, ‘amilin dan orang-orang mulia yang shalih merupakan sebaik-baik
sarana yang akan menanamkan berbagai keutamaan dalam jiwa anak serta
mendorongnya untuk siap mengemban berbagai kesulitan dalam rangka meraih tujuan
yang mulia dan luhur. Di samping itu juga akan membangkitkan untuk mengambil
teladan orang-orang yang penuh pengorbanan sehingga ia akan terus naik menuju
derajat yang tinggi dan terhormat.[50]
4. Mendidik dengan Targhib dan Tarhib
Targhib
adalah janji yang disertai dengan bujukan dan membuat senang terhadap sesuatu
maslahat, kenikmatan, atau kesenangan akhirat. Sedangkan tarhib adalah ancaman
dengan siksaan sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang oleh
Allah, atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan
Allah.[51] Ini merupakan metode pendidikan Islam yang didasarkan atas fitrah
yang diberikan Allah kepada manusia, seperti keinginan terhadap kekuatan,
kenikmatan, kesenangan, dan kehidupan abadi yang baik serta ketakutan akan
kepedihan, kesengsaraan dan kesudahan yang buruk. Ditinjau dari segi
paedagogis, hal ini mengandung anjuran, hendaknya pendidik dan atau orang tua
menanamkan keimanan dan aqidah yang benar di dalam jiwa anak-anak, agar
pendidik dapat menjanjikan (targhib) surga kepada mereka dan mengancam (tarhib)
mereka dengan azab Allah, sehingga hal ini diharapkan akan mengundang anak
didik untuk merealisasikan dalam bentuk amal dan perbuatan yang dianjurkan oleh
ajaran Islam.
Dalam
memberikan pendidikan melalui targhib dan tarhib, pendidik hendaknya lebih
mengutamakan pemberian gambaran yang indah tentang kenikmatan di surga dan
berbagai kenikmatan lain yang diperoleh sebagai balasan bagi amal sholeh yang
dikerjakan, sekaligus juga diberikan sedikit gambaran tentang dahsyatnya azab
Allah yang diberikan sebagai ganjaran pelanggaran yang dilakukan.[52] Pendidikan
dengan menerapkan metode ini merupakan
upaya untuk menggugah, mendidik dan mengembangkan perasaan Rabbaniyah pada anak
sejak usia dini, perasaan-perasaan yang diharapkan dapat dikembangkan melalui
metode ini antara lain; khauf kepada Allah, perasaan khusyu', perasaan cinta
kepada Allah, dan perasaan raja' (berharap) kepada Allah. Targhib dan tarhib
merupakan bagian dari metode kejiwaan yang sangat menentukan dalam meluruskan
anak, ia merupakan cara yang jelas dan gamblang dalam pendidikan ala Rasul,
beliau sering menggunakannya dalam menyelesaikan masalah anak di segala
kesempatan, terutama dalam masalah berbakti kepada orang tua. Beliau mendorong anak
agar berbakti kepada kedua orang tuanya serta menakut-nakutinya dari berbuat
durhaka kepada keduanya. Hal itu tidak lain bertujuan agar anak itu menyambut
hal ini dan mendapatkan pengaruh sehingga ia bisa memperbaiki diri dan
perilakunya.[53]
5. Pujian dan Sanjungan
Tidak
diragukan lagi, pujian terhadap anak mempunyai pengaruh yang sangat dominan
terhadap dirinya, sehingga hal itu akan menggerakkan perasaan dan inderanya.
Dengan demikian, seorang anak akan bergegas meluruskan perilaku dan
perbuatannya. Jiwanya akan menjadi riang dan juga senang dengan pujian ini
untuk kemudian semakin aktif. Rasulullah sebagai manusia yang mengerti tentang
kejiwaan manusia telah mengingatkan akan pujian yang memberikan dampak positif
terhadap jiwa anak, jiwanya akan tergerak untuk menyambut dan melaksanakan
tugas yang diberikan kepadanya.[54] Anak kecil yang masih berada dalam umur
tiga tahun pertama bukannya tidak mempunyai perasaan kehormatan serta harga
diri, ia menyadari bahwasanya dirinya adalah anak kecil, akan tetapi dalam
lubuk hatinya ia tidak menerima jika dianggap remeh dalam bentuk dan sikap yang
bagaimanapun.
Selama
ia masih tumbuh berkembang maka perasaan dihargai dan dihormati ikut tumbuh
kembang dalam dirinya. Perasaan harga diri dan dihormati merupakan pembawaan
manusia secara fitrah, baik sebagai anak kecil maupun sebagai manusia dewasa,
sebab sesungguhnya manusia merupakan makhluk yang dihormati lagi dimuliakan.
Mengenai bentuk dan ragam pemberian pujian atau penghargaan cukup banyak, yang
terpenting adalah anak sejak dini dipandang sebagai manusia sekaligus
diperlakukan secara manusiawi.[55]
Secara
lebih lanjut, pujian dan sanjungan dapat diberikan dalam bentuk hadiah. Namun
orang tua hendaklah berhati-hati dalam memilih hadiah, agar tidak menimbulkan ketagihan.
Hindarilah memberi hadiah uang, karena selain benda ini sangat menggiurkan,
orang tua pun harus bekerja dua kali untuk membimbing anak agar mampu
membelanjakan uangnya dengan baik. Pilihlah hadiah yang bersifat edukatif,
sehingga tak jadi persoalan jika anak-anak kemudian ketagihan. Buku cerita,
alat-alat sekolah serta perlengkapan kegemaran anak akan cukup menyenangkan
mereka. Pilih barang yang saat itu sedang mereka butuhkan, sehingga orang tua
tidak perlu membelikannya lagi, misalnya jika sepatunya sudah mulai nampak
berlubang, mengapa tidak menjadikannya saja sebagai hadiah, sebab kalaupun
tidak sebagai hadia toh akhirnya orang tua harus membelikannya juga. Orang tua
harus sejak awal dan terus-menerus menanamkan pengertian bahwa hadiah yang diberikan
kepada anak bukan semata untuk menghargai prestasi akhir mereka, namun lebih
dititikberatkan pada usaha anak untuk mengubah dirinya.[56]
6. Menanamkan Kebiasaan yang Baik
Dalam
usaha memberikan pendidikan dan membantu perkembangan anak usia dini, selain
pengembangan kecerdasan dan keterampilan, perlu juga sejak dini ditanamkan
kebiasaan-kebiasaan yang positif. Pendidikan dengan mengajarkan dan pembiasaan
adalah pilar terkuat untuk pendidikan anak usia dini, dan metode paling efektif
dalam membentuk iman anak dan meluruskan akhlaknya, sebab metode ini
berlandasakan pada pengikutsertaan. Tidak diragukan lagi, mendidik dengan cara
pembiasaan anak sejak dini adalah paling menjamin untuk mendatangkan hasil
positif, sedangkan mendidik dan melatih setelah dewasa sangat sukar untuk
mencapai kesempurnaan[57]. Ada beberapa hal yang dapat dianggap positif untuk
dibiasakan terhadap anak usia dini, di antaranya adalah: Anak harus dibiasakan
menjaga kebersihan, sebab Islam sangat mementingkan kebersihan, sebagaimana
dapat dibaca pada firman Allah berikut ini:
Artinya: “Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih”. (Taubah:
108)
Ayat di atas
menjelaskan tentang kecintaan Allah terhadap orang yang bersih, yaitu orang
menyucikan dirinya dari segala macam najis dan kotoran sekaligus membersihan
jiwanya dari segala macam dosa.[58] ِAyat ini
sejalan dengan sabda Rasul:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ حَدَّثَنَا
خَالِدُ بْنُ إِلْيَاسَ عَنْ صَالِحِ بْنِ أَبِي حَسَّانَ قَال سَمِعْتُ سَعِيدَ
بْنَ الْمُسَيَّبِ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ نَظِيفٌ
يُحِبُّ النَّظَافَةَ…[59]
Artinya: “Sesungguhnya Allah itu baik dan menyukai kebaikan, bersih
dan menyukai kebersihan”… (R. at-Tirmiżi)
Dalam
rangka membiasakan hidup bersih dan hidup sehat, pada anak usia dini, hendaklah
anak dibiasakan untuk; berdo’a sebelum tidur dan ketika bangun, mandi secara
teratur, menggosok gigi setiap bangun dan menjelang tidur, mencuci tangan
sebelum dan sesudah makan, serta membuang sampah pada tempatnya. Anak dilatih
dan dibiasakan hidup teratur, misalnya dengan membiasakan anak makan secara
teratur dan tidak berlebihan, sebagaimana difirmankan Allah:
Artinya:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid,
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.(Al A’raaf ayat 31)
Makna
yang terdapat pada ayat ini adalah makanlah sesukamu dan berpakaianlah sesukamu
selagi engkau hindari dua pekerti, yaitu berlebih-lebihan dan sombong. Allah
menghalalkan makan dan minum selagi dilakukan dengan tidak berlebih-lebihan dan
tidak untuk kesombongan[60]. Dalam hadis Rasul kita temukan tentang aturan
makan dan minum, yaitu seperti yang tersebut dalam hadis berikut ini:
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ
وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ وَاللَّفْظُ لِابْنِ نُمَيْرٍ
قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عُبَيْدِ
اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ جَدِّهِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ
فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ
الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ
Artinya:
Dari Jaddah ibn Umar Rasulullah berkata: “Jika makan salah seorang diantara
kamu, maka makanlah dengan tangan kanan, dan jika minum, maka minumlah dengan
tangan kanan, karena sesungguhnya syaitan makan dan minum dengan tangan kiri”(R.
At-Tirmizi)[61]
Anak
sejak dini hendaknya dibiasakan hidup sederhana dan hemat. Untuk itu sebaiknya
anak tidak dibiasakan jajan, sebab jajan di samping merupakan kebiasaan yang
tidak baik, juga makananan yang ia beli belum terjamin kebersihannya hingga
bisa membahayakan kesehatannya.[62] Itulah beberapa metode pendidikan yang
menurut hemat penulis layak untuk diterapkan pada pelaksanaan pendidikan anak
usia dini. Dengan metode-metode tersebut secara teoritis akan memberikan hasil
positif terhadap pembinaan dan pendidikan anak usia dini, baik itu yang
dilaksanakan orang tua di rumah, maupun oleh para guru di sekolah/lembaga
pendidikan anak usia dini.
Rererensi :
[30] Al-Baidhawi, Tafsir Baidhawi, (http://www.Altafsir.com) Juz 5
h. 9, baca An-Naisaburi, Tafsir An-Naisaburi, juz 1 h. 81.
[31] M. Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Kasir, jilid 3
(Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 841.
[32] Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyat al- Aulad Fi al- Islam, terj.
Jamaluddin Miri, Pendidikan Anak dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995),
h.37
[33] Suwaid, Manhaj at-Tarbiyyah…, h. 458.
[34]Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan
Islam dalam Keluarga di Sekolah dan di Masyarakat, (Semarang: Diponegoro,1989),
h. 366.
[35] Muslim, Şahih Muslim Juz 1, h. 217.
[36] Imam al-Hafidz Abi ‘Abbas Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurah at-Tirmiżi, Sunan at-Tirmiżi al-Jami’us
Şahih, juz 1, (Semarang: Toha Putra,tt,) h. 260.
[37] Suwaid, Mendidik Anak…, h. 178.
[38]Muhammad Zuhaili, Al Islam Wa Asy Syabab, terjemahan Arum
Titisari, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, (Jakarta: AH. Ba’adillah
Press, 2002), h. 70.
[39] Irawati Istadi, Mendidik Dengan Cinta, (Bekasi: Pustaka Inti,
2006), h. 130.
[40]Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi,
Şahih Muslim Juz 1, (Bandung: Al Ma’arif,tt),
h 460.
[41] Suwaid, Mendidik Anak…, h. 194.
[42] Ummi Aghla, Mengakrabkan Anak…, h. 98.
[43] Suwaid, Manhaj at-Tarbiyyah…, h. 479-480.
[44] Ibid., h. 521.
[45] Ulwan, Pedoman Pendidikan…, h. 33.
[46] Suwaid, Manhaj at-Tarbiyyah…, h. 514.
[47]An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode…, h. 332.
[48] Al Imam abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Al
Qur’an al-‘Ażīm, terjemahan Bahrum Abu Bakar, Tafsir Ibnu Kaśīr juz 12,
(Bandung: Sinar Baru Algesindo,2003), h. 184.
[49] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu
Katsier, jilid III, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), h. 509.
[50] Suwaid, Manhaj at-Tarbiyyah…, h. 486.
[51] An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode…, h. 412
[52]Ibid., h. 414.
[53] Suwaid, Manhaj at-Tarbiyyah…, h. 525.
[54] Suwaid, Manhaj at-Tarbiyyah…, h. 520.
[55] Ali Qutb, Auladuna fi Dlau-it Tarbiyyatil Islamiyyah, h. 72.
[56] Irawati Istadi, Istimewakan Setiap Anak, (Bekasi: Pustaka
Inti, 2005), h. 26.
[57]Ulwan, Pedoman Pendidikan…, jilid 2, h. 64.
[58]Al Imam abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Al
Qur’an al-‘Ażīm, terjemahan Bahrum Abu Bakar, Tafsir Ibnu Kaśīr juz 11,
(Bandung: Sinar Baru Algesindo,2003), h. 48.
[59] Imam al-Hafidz Abi ‘Abbas Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurah at-Tirmiżi, Sunan at-Tirmiżi al-Jami’us
Şahih, juz 4, (Semarang: Toha Putra,tt,) h. 198.
[60] Al Imam abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Al
Qur’an al-‘Ażīm, terjemahan Bahrum Abu Bakar, Tafsir Ibnu Kaśīr juz 8,
(Bandung: Sinar Baru Algesindo,2003), h. 289.
[61]Imam al-Hafidz Abi ‘Abbas Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurah at-Tirmiżi, Sunan at-Tirmiżi al-Jami’us
Şahih, juz 3, (Semarang: Toha Putra,tt,) h.
166.
[62] Panitia Muzakarah Ulama, Memelihara Kelangsungan Hidup Anak
Menurut Ajaran Islam, (Jakarta: Kerjasama Departemen Agama, MUI dan UNICEF,
1987/1988), h. 58-59.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar